Sabtu, 05 Februari 2011

..NO WAY.. [FF] -part 2-

Aku terkesiap. Jam 9 malam ?? apa kata orang-orang nanti ? apa kata oppa nanti ? sudah malam, aku belum pulang. Bbabo !!

“hei, kau mau makan ? apa perlu kusuapi ?”

“aku harus pulang.” Kataku sambil mencoba beranjak. Aish, sakit sekali. Apa aku cukup kuat untuk berjalan pulang ?

“tapi kau belum makan. Lagipula kau masih demam, diluar dingin sekali, kau bisa mati kedinginan. Kau—“

“AKU HARUS PULANG ! APA KAU TAK DENGAR ??” aku membentaknya. Ia hanya menatapku lekat-lekat, lalu 
membiarkanku berjalan tertatih-tatih. Masa bodoh, yang penting aku harus pulang.

[-]


Kurapatkan jaket-ku. Benar juga, malam ini sangat dingin, bodoh sekali tidak membawa sarung tangan. Kutengok kanan-kiri, sepi sekali. Kalau sudah begini, aku takut. Aku memang paling tidak bisa ditempat gelap dan sepi. Entah kenapa, aku merasa romaku berdiri.

Ah.. aku harus telpon oppa ! tapi dimana telepon umum ? sebenarnya jarak rumah sudah dekat, tapi sungguh, aku takut. Aish ! bbabo !! aku kan bawa ponsel !!

Kulihat ponselku, aih, 24 missedcalled. Omo !! dia menelponku ! cepat kutelpon nomernya.

“….oppa ? yaaa !! seunghee, kau dimana ? aku mengkhawatirkanmu ! kenapa tak bilang mau pulang malam ? aku kan bisa menjemputmu. Oppa, tolong, aku takut oppa. Eh ? kau dimana ? tenang seunghee, tenang. Y-ya oppa, tapi disini memang gelap sekali, aku takut.. sebutkan, kau ada dimana ? 5 blok dari rumah, cepatlah datang. Ya, tunggu aku disana, jangan macam-macam. Oppa, jangan ditutup, biarkan saja tersambung, aku tak mau benar-benar sendiri. Ya ya, sekarang aku sedang berlari kesana. Aish, oppa…”

Nafasku tercekat. Kini, aku merasa ada suara langkah kaki di belakangku. Langkah kaki yang terseok-seok. Ah, oppa !!

“oppa !! hiks.. hiks.. cepatlah datang, oppa.. aku takut, sungguh. Ya, seunghee, itukah kau ? seunghee ?”

Aku menoleh kesana-sini, tidak untuk belakang. Mana dia ?? jalanan ini sungguh lengang. Mana ??

“kau dimana oppa ?? hiks.. hiks.. aku takut. Kau dimana ?”

Tidak ada jawaban. Tiba-tiba kurasakan ada sebuah tangan yang mendarat tepat dibahuku. Sungguh, aku tak kuat, aku tak kuat. Tubuhku limbung, masa bodoh dengan siapa itu. Aku takut.

[-]

“SeungHee..” kata itu yang pertama kali kudengar. Oppa, aku langsung memeluknya, erat.

“oppa, hiks, hiks.. aku takut.. oppa..” aku menangis dipelukanya.

“ya ya, kau aman bersamaku, seung.” Ia balas mendekapku, dan aku merasa benar-benar tenang.

Apa ini malaikatku ? aku memang memimpikan dia yang akan mendekapku begini. Hentikan saja, hentikan waktu saat ini juga. Aku tak ingin waktu ini berganti. Aku tak ingin dekapan-nya mengendur. Aku tak ingin ia pergi lagi. Cukuplah oppa, jangan pergi lagi. Aku ingin kau tetap begini.

[-]

Pagi, ah.. badanku sakit semua. Dimana oppa ? apakah dia sudah pergi untuk bertemu dengan Min Gi ?

“Seung-ah , kau sudah bangun ternyata. Mau makan ? aku sudah membuatkanmu bubur ayam. Kau pasti suka.”

Aku diam melihat kado pink ditanganya. Ah ya, besok valentine, ia pasti akan menyerahkanya pada Min Gi. Beruntung sekali dia. Huh..

“hei, kau masih demam ya ? baiklah, kau ingin aku suapi ?”

Aku tersadar dari lamunan-ku. Ah, kalau oppa yang menawarkan, aku tak akan menolaknya.

Aku makan dalam diam. Maksudku, diantara kami tidak ada pembicaraan yang asyik. Hanya ada suara sendok beradu dengan mangkok.

“ngg.. seunghee, mianhae.” Aku menatap-nya sejenak. Mianhae ? untuk apa ?

“waeyo ?”

“aku tak bisa menjadi suami yang baik untukmu. Jeongmal mianhae.”

“ah,  gwenchana, aku yang tak bisa menjadi istri yang baik. Gwenchana oppa.”

“seunghee, sebaiknya kita bercerai saja. Aku tak ingin membuat hidupmu berantakan. Sementara itu, aku dan Min Gi sudah sepakat akan bertunangan. Sedangkan kau, kau bisa melanjutkan hidupmu tanpaku. Ini kan yang kau harapkan ?”

Aku terkesiap. Detak jantungku tiba-tiba berhenti, walau hanya sebentar, aku dapat merasakan sakit yang luar biasa. Apa ini ? mimpi macam apa ini ?? oppa, bertekad meninggalkanku ??

Malaikat, tolong aku. Bangunkan aku  jika ini benar-benar mimpi !!

“seunghee ? gwenchanayo.. kau akan lebih menghemat air mata jika tak bersamaku. Gwenchanayo, seung.”

Ya, air mataku turun . entah karena apa, mungkin akumulasi dari kesedihanku. Dan ia mengelapnya, lalu merengkuhku di pelukanya. Bukan ketenangan yang kudapat, ini seperti symbol rengkuhan perpisahan. Aku tak ingin. Aku tak ingin. Oppa, jebal..

[-]

“seung, oppa berangkat dulu. Doa’kan oppa ya. Annyeong !” katanya sambil melambai.

Hari ini aku tak masuk sekolah, kata oppa biar aku beristirahat dulu. Aku melepas kepergian-nya dengan berat hati. Sungguh 
berat saat ini. Tahu ia akan kemana ? MIN GI ! ia ingin melamar-nya. Yah.. bertunangan denganya. Bagaimana denganku ? jangan dipikirkan, surat cerai sudah ada di depan mataku. Aku hanya tinggal membubuhkan tanda tangan, dan semua beres. Ternyata dia sudah mempersiapkanya jauh-jauh hari.

Malaikat, jangan pernah tinggalkan aku. Malaikat, jangan pernah bilang berpisah denganku. Malaikat, aku ingin kau selalu ada.

[-]

Akal sehatku memang sudah kubuang entah kemana, aku tak berpikir tentang malu atau tidak. Digenggaman-ku hanya ada satu map surat perceraian itu. Ku percepat langkahku, menyetop sembarang bis, dan berhenti tepat di café yang oppa ceritakan. Disinilah tempat-nya akan melamar Min Gi itu.

Tak kuhiraukan pening yang semakin menjadi. Tak kuhiraukan suhu badanku yang meningkat. Tak kuhiraukan badanku yang lemas, aku hanya ingin satu, perceraian itu BATAL.

“Oppa !!”

“Seung—“

Tatapanku nanar saat melihat cincin sudah melingkar di jari manis Min Gi. Melihat Oppa yang langsung beranjak dari kursi. Tapi aku mengisyaratkanya agar tetap duduk.

“Oppa, aku tak ingin kita berpisah. Terserah kau mau bertunangan, menikah atau apapun denganya, tapi jangan biarkan aku pisah darimu. Oppa, aku tak ingin cerai darimu, aku tak peduli jika kamar-ku berganti sehingga kau bisa dengan leluasa bersama Min Gi, aku tak peduli. Yang aku inginkan hanyalah… jangan paksa aku menandatangani surat ini.. jangan paksa aku.. untuk berpisah denganmu.. jangan paksa aku.. untuk melupakanmu.. aku tak bisa, o-oppa…”

Nafasku sudah tak karuan kini. Antara ingin melanjutkan pernyataan-ku, dan menangis. Tanganku bertumpu di satu meja, pandanganku menunduk, aku tahu ini memalukan, tapi aku tak peduli, aku ingin ia kembali.

“Seung, sudahlah. Ayo pulang, kau demam.” Katanya datar sambil memapahku pulang. Mukanya merah menahan malu. Ah, mianhae oppa..

TBC--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar